LAPINDO TANPA UJUNG
2 tahun lebih sudah bencana lumpur Lapindo melanda negeri ini. Sudah selama itu pula jutaan rakyat menderita.tdak hanya karena tempat tinggal mereka yang terenggut secara paksa, belum lagi kerugian materil yang tidak sedikit jumlahnya, bahkan juga menimbulkan dampak psikologis bagi mereka.bahkan beban itu pun kini ikut menjadi beban tanggungan bangsa Indonesia.
Pelanggaran pun terjadi dimana-mana.mulai dari pelanggaran HAM sampai pelanggaran ekolgi pun ikut terjadi.dan sepertinya PT. Lapindo Brantas pun seakan-akan tak tahu apa-apa. Beragam solusi pun mulai diuhasakan para pakar, namun samapai saat ini belum juga menampakkan hasil yang memuaskan. Lantas sebenarnya apa yang terjadi dan bagaimana kita harus menghadapinya.inilah tugas kita bersama.
Asal Mula Lapindo
Banjir Lumpur Panas Sidoarjo/Lapindo, adalah peristiwa menyemburnya lumpur panas di lokasi pengeboran PT Lapindo Brantas di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, sejak tanggal 27 Mei 2006. Lokasi semburan lumpur ini berada di Porong, yakni kecamatan di bagian selatan Kabupaten Sidoarjo, sekitar 12 km sebelah selatan kota Sidoarjo. Kecamatan ini berbatasan dengan Kecamatan Gempol (Kabupaten Pasuruan) di sebelah selatan.
Penyebab luapan lumpur ini sampai sekarang masih simpang siur. Ada yang mengatakan bahwa ini adalahh murni karena kesalahan PT. Lapindo. Ada juga yang mengatakan bahwa luapan lumpur panas PT Lapindo Brantas merupakan imbas gempa 6,2 Richter di Yogyakarta. Menurut Wakil Ketua Komisi VII DPR, Sony Keraaf, menyitir jawaban pemerintah. Disebutkan bahwa luapan lumpur terjadi akibat liquid faction pascagempa.
Namun ada juga yang menilai bahwa ini adalah PT Lapindo dinilai tidak lagi melakukan kegiatan eksplorasi, tetapi eksploitasi, lantaran pengeboran sudah mlebihi kedalaman 50 meter.
PT Lapindo Brantas Inc itu sendiri adalah operator dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) – BP Migas yang beroperasi di Blok Brantas, Jawa Timur semenjak tahun 1996. Lapindo Brantas Inc. telah mengoperasikan 20 sumur produksi dari lapangan gas di Wunut dan Carat di wilayah Kerja Blok Brantas.
Hingga sampai saat ini luapan lumpur terus terjadi dengan volume makin hari makin besar sehingga tidak mengherankan jika dilihat dari atas seperti lautan lumpur.
Dampak
Semburan lumpur ini membawa dampak yang luar biasa bagi masyarakat sekitar maupun bagi aktivitas perekonomian di Jawa Timur. Diantaranya :
Lumpur menggenangi empat belas desa di tiga kecamatan. Semula hanya menggenangi empat desa dengan ketinggian sekitar 6 meter, yang membuat dievakuasinya warga setempat untuk diungsikan serta rusaknya areal pertanian. Luapan lumpur ini juga menggenangi sarana pendidikan dan Markas Koramil Porong. Hingga bulan Agustus 2007, luapan lumpur ini telah menggenangi sejumlah desa/kelurahan di Kecamatan Porong, Jabon, dan Tanggulangin, dengan total warga yang dievakuasi sebanyak lebih dari 8.200 jiwa dan tak 25.000 jiwa mengungsi. Karena tak kurang 10.426 unit rumah terendam lumpur dan 77 unit rumah ibadah terendam lumpur.
Lahan dan ternak yang tercatat terkena dampak lumpur semakin hari semakin bertambah seiring semakin meluasnya luberan lumpur.
Sekitar 30 pabrik yang tergenang terpaksa menghentikan aktivitas produksi dan merumahkan ribuan tenaga kerja. Tercatat 1.873 orang tenaga kerja yang terkena dampak lumpur ini.
Empat kantor pemerintah juga tak berfungsi dan para pegawai juga terancam tak bekerja.
Tidak berfungsinya sarana pendidikan (SD, SMP), Markas Koramil Porong, serta rusaknya sarana dan prasarana infrastruktur (jaringan listrik dan telepon)
Rumah/tempat tinggal yang rusak akibat diterjang lumpur dan rusak sebanyak 2.467 unit. Rinciannya: Tempat tinggal ini diantaranya 1.810 (Siring 142, Jatirejo 480, Renokenongo 428, Kedungbendo 590, Besuki 170), sekolah 18 (7 sekolah negeri), kantor 2 (Kantor Koramil dan Kelurahan Jatirejo), pabrik 15, masjid dan musala 15 unit.
Kerusakan lingkungan terhadap wilayah yang tergenangi, termasuk areal persawahan. Pihak Lapindo melalui Imam P. Agustino, Gene-ral Manager PT Lapindo Brantas, mengaku telah menyisihkan US$ 70 juta (sekitar Rp 665 miliar) untuk dana darurat penanggulangan lumpur.
Akibat amblesnya permukaan tanah di sekitar semburan lumpur, pipa air milik PDAM Surabaya patah
Meledaknya pipa gas milik Pertamina akibat penurunan tanah karena tekanan lumpur dan sekitar 2,5 kilometer pipa gas terendam
Ditutupnya ruas jalan tol Surabaya-Gempol hingga waktu yang tidak ditentukan, dan mengakibatkan kemacetan di jalur-jalur alternatif, yaitu melalui Sidoarjo-Mojosari-Porong dan jalur Waru-tol-Porong.
Tak kurang 600 hektar lahan terendam.
Kejadian ini telah menyedot anggaran dana yang tidak sedikit.mulai dari ganti rugi lahan masyarakat,pengadaan alat-alat berat sampai untuk dana penanggulangan perluasan luberan lumpur yang memakan dana yang tidak sedikit. Mencapai ratusan milyar rupiah
Tidak hanya PT. lapindo brantas saja yang menanggung beban ini, namun pemerintah pun mulai ikut campur tangan.padahal telah jelas tercantum dalam amar putusan majelis hakim Nomor 384/PDT.G/2006/PN.JKT.PST tanggal 27 November 2007 bahwa, ’semburan lumpur akibat kekurang hati-hatian pengeboran yang dilakukan Lapindo karena belum terpasang casing atau pelindung secara keseluruhan
Sudah lebih dari empat belas desa yang tenggelam akibat luapan lumpur panas PT Lapindo Brantas sejak 29 Mei 2006 yang lalu, diantaranya Desa Jatirejo, Ronokenongo, dan Siring di Kecamatan Porong, serta Desa Kedungbendo di Kecamatan Tanggulangin—nampaknya tidak lama lagi Desa Mindi dan Desa Pejarakan, juga akan ikut tenggelam.sampai januari 2008 Penduduk yang mengungsi sudah berjumlah sekitar 9.789 jiwa karena rumahnya tak dapat dihuni lagi, dan 1.776 buruh kehilangan pekerjaan akibat pabrik-pabrik tempat mereka bekerja terendam. Genangan lumpur sudah mencapai luas total lebih dari 436 ha, merendam 2.467 rumah, 24 pabrik, 18 sekolah, dan lebih dari 360 ha areal pertanian. Kerugian akan bertambah besar lagi, sebab semburan lumpur semakin hari semakin besar, dan belum ada tanda-tanda akan segera berhenti. Pihak Lapindo Brantas telah mengeluarkan anggaran lebih dari Rp 800 miliar, dalam upayanya menghentikan semburan lumpur panas tersebut, namun sampai saat ini belum dapat.
Pada 22 September 2007 terjadi ledakan pipa gas Pertamina di salah satu tanggul penahan lumpur, yang menyebabkan lebih dari 10 orang meninggal dunia. Karena kejadian ini, pemerintah kemudian menetapkan kasus semburan lumpur panas Lapindo sebagai bencana. Dengan status bencana tersebut, berarti pemerintah harus mengeluarkan anggaran untuk melakukan penanggulangan. Hal itu tentu sangat positif, hanya saja kita harus tetap menuntut tanggungjawab penuh PT Lapindo. Jangan sampai pihak Lapindo akan berlepas tangan, dan menyerahkan urusan ini sepenuhnya kepada pihak pemerintah.
Pelanggaran Hukum
Dalam kasus ini, Lapindo Brantas Inc diduga telah melakukan berbagai pelanggaran. Menurut Pengamat Hukum Lingkungan Universitas Airlangga Dr. Suparto Wijoyo ada 12 dosa hukum dalam kasus Lapindo ini. Pertama, lapindo jelas melakukan pelanggaran UU Perindustrian, di mana dalam UU Perindustrian menyatakan setiap aktivitas Industri dilarang mencemarkan dan merusak lingkungan. Kedua, melanggar UU Konservasi, karena telah nyata terjadi kerusakan ekosistem di sana. Ketiga, melanggar UU Lingkungan, dalam kasus ini sudah terjadi pencemaran lingkungan. Keempat, melanggar UU Tata Ruang, karena itu merupakan areal pertanian, kenapa untuk pertambangan. Kelima, melanggar UU Agraria, dimana di dalam setiap orang bertanggungjawab menjaga mutu tanah. Kemudian yang keenam, melanggar UU Kesehatan, ratusan orang sudah kolaps, karena terganggu kesehatannya akibat luapan lumpur gas Lapindo. Ketujuh, melanggar UU Lalu Lintas, akibat peristiwa ini jalur lalu lintas terhambat. Kedelapan, melanggar UU Jalan Tol, di mana akibat luberan lumpur itu, jalan tol sebagai moda transportasi terganggu. Kesembilan, melanggar UU Sumber Daya Air, siapa yang bisa menjamin air disan tidak tercemar. Kesepuluh, melanggar UU Pertambangan. Kesebelas UU Migas, karena intinya aktivitas pertambangan harus berwawasan lingkugan dan yang keduabelas, melanggar UU Terorisme, untuk itu ini harus benar-benar dijadikan momen bergeraknya penegakan hukum terhadap teroris lingkungan.
Kehilangan tempat tinggal, misalnya, itu merupakan pelanggaran terhadap Pasal 28 H (1) UUD 1945, kehilangan pekerjaan diatur oleh Pasal 28 D (2) UUD 1945, dan hilangnya kesempatan mendapat pendidikan adalah pelanggaran terhadap Pasal 28 C UUD 1945.
Kebanyakan pasal yang dilanggar lewat kasus Lapindo, lanjutnya, adalah ketentuan yang tercakup dalam Konvensi Internasional akan Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights/ICESR).
Menurunnya kualitas kesehatan telah diatur pada Pasal 12, kehilangan kesempatan pendidikan diatur dalam Pasal 13, kerusakan sumber daya alam untuk generasi sekarang dan masa depan diatur oleh Pasal 1 (2) dan Pasal 25 ICESCR.
Di Indonesia, hak atas lingkungan hidup yang sehat atau baik pertama kali diperkenalkan lewat UU No. 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok tentang Lingkungan Hidup, yang kemudian diganti dengan UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Secara eksplisit, hak atas lingkungan hidup yang sehat dan baik di Indonesia diakui sebagai HAM melalui Ketetapan MPR RI Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia (HAM).
Sementara itu, dalam kasus dugaan pidana kasus semburan lumpur panas PT Lapindo, Polisi telah menetapkan 12 tersangka. Mabes Polri juga sudah melakukan pencekalan terhadap mereka (5/9/2006). Para tersangka itu di antaranya, Manajer Umum PT Lapindo Brantas Imam Pria Agustino, Wakil Presiden Layanan Pengeboran PT Energi Mega Persada Nurohmat Sawolo, dan Direktur Utama PT Medichi Citra Nusa (kontraktor Lapindo) Yenny Nawawi. Namun nasib mereka sampai saat ini masih belum jelas statusnya.
Sudah selayaknya, selain mereka dijerat karena melakukan kejahatan lingkungan, semestinya pula mereka dijerat oleh peraturan mengenai kejahatan terhadap hak asasi manusia (HAM), terutama menyangkut hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya (Hak Ekosob). Indonesia sendiri telah secara resmi meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (International Covenant on Economic, Sosial, and Cultural Rights), tahun 2005.
Pencemaran Lingkungan
Lumpur lapindo ini juga jelas telah merusak ekologi sekitarnya. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia menilai semburan lumpur panas dari areal eksplorasi PT Lapindo meninggalkan dampak ekologis yang dapat dibanding-bandingkan dengan tragedi Buyat di Sulawesi Utara.
Kasus PT Lapindo membuat ratusan warga di sekitar Desa Renokenongo dan Desa Siring, Kecamatan Porong, mengungsi. Beberapa di antaranya masuk rumah sakit akibat kepulan asap putih yang keluar dari pipa gas perusahaan milik Bakrie Group ini.
Menurut Ketua Kampanye Eksekutif Daerah Walhi Jatim, Chairul, asap putih yang keluar dari didihan gas dari pipa bawah tanah milik PT Lapindo mengandung hidrogen sulfida (zat kimia beracun yang berbahaya bagi kesehatan). Gas lain yang teridentifikasi adalah amoniak, nitrit, nitrat, dan fenol.
Investigasi Walhi Jawa Timur menemukan bahwa sehari setelah terjadi blow out pertama, ikan-ikan yang ada di saluran irigasi banyak yang terapung mati. Tanaman yang ada di sekitar lumpur mengering dan mati.
Sumber air (sumur dan sungai) di tiga desa (Siring, Renokenongo, dan Jatirejo) tak dapat lagi dikonsumsi karena telah tercemar. Warnanya berubah kekuning-kuningan (seperti mengandung minyak mentah). masih belum jelas betul potensi bahaya material kimiawi dari area PT Lapindo. Banyak reaksi fisika dan kimia yang terjadi. Unsur yang dulunya tidak ada, seperti chrom, bisa menjadi ada (terdeteksi)
Uji lab dari sampel lumpur yang dilakukan oleh PU/Bina Marga Jatim menunjukkan kandungan fenol yang cukup tinggi. Dan didapati 9 dari10 kandungan fisika dan kimia (yang dijadikan parameter) telah jauh melampaui ambang batas limbah. Sebagai contoh kandungan merkuri (Hg) yang didapati 2,565 mg/liter Hg, padahal ambang batasnya 0,002 mg/liter Hg
Permasalahan penanganan lumpur panas ini menjadi jauh lebih berat akibat semakin membesarnya volume lumpur panas yang disemburkan, dari antara 40,000 m3 sampai 60,000 m3 (Mei-Agustus) menjadi 126,000 m3 per hari, sehingga yang akan dibuang tidak hanya air dari lumpur tersebut, akan tetapi keseluruhan lumpur panas yang menyembur di sekitar sumur Banjar Panji 1.
Solusi Pemecahan Masalah
Beragam solusi mulai ditawarkan bahkan ada yang sudah mulai dijalankan. Diantaranya yaitu :
Pembuatan tanggul agar mencegah meluasnya luberan lumpur.
Membangun waduk tambahan di sebelah tanggul-tanggul yang ada sekarang. Dengan sedikit upaya untuk menggali lahan ditempat yang akan dijadikan waduk tambahan tersebut agar daya tampungnya menjadi lebih besar. Masalahnya, untuk membebaskan lahan disekitar waduk diperlukan waktu, begitu juga untuk menyiapkan tanggul yang baru, sementara semburan lumpur secara terus menerus, dari hari ke hari, volumenya terus membesar.
Pembuatan pulau lumpur
Pembuangan lumpur ke sungai Porong.
Meski banyak mendapat kontroversi berbagai pihak, hal ini agaknya menjadi solusi yang sering dilakukan, sebagai tempat penyimpanan lumpur, Kali Porong ibarat waduk yang telah tersedia, tanpa perlu digali, memiliki potensi volume penampungan lumpur panas yang cukup besar. Dengan kedalaman 10 meter di bagian tengah kali tersebut, bila separuhnya akan diisi lumpur panas Sidoardjo, maka potensi penyimpanan lumpur di Kali Porong sekitar 300,000 m3 setiap kilometernya. Dengan kata lain, kali Porong dapat membantu menyimpan lumpur sekitar 5 juta m3, atau akan memberikan tambahan waktu sampai lima bulan bila volume lumpur yang dipompakan ke Kali Porong tidak melebihi 50,000 m3 per hari. Bila yang akan dialirkan ke Kali Porong adalah keseluruhan lumpur yang menyembur sejak awal Oktober 2006, maka volume lumpur yang akan pindah ke Kali Porong mencapai 10 juta m3 pada bulan Desember 2006. Volume lumpur yang begitu besar membutuhkan frekuensi dan volume penggelontoran air dari Sungai Brantas yang tinggi, dan kegiatan pengerukan dasar sungai yang terus menerus, agar Kali Porong tidak berubah menjadi waduk lumpur. Sedangkan untuk mencegah pengembaraan koloida lumpur Sidoardjo di perairan Selat Madura, diperlukan upaya pengendapan dan stabilisasi lumpur tersebut di kawasan pantai Sidoardjo.
Memasukkan baja dan beton ke dalam sumber menyemburnya lumpur
Metode insersi untaian bola beton. Namun langkah ini belu juga mampu menghentikan luberan lumpur.
Menggunakan insersi ascending size atau menaikkan skala bongkahan batuan beku.
Menurut Dr M. Nurhuda, Kaprodi Fisika FMIPA Universitas Brawijaya (Unibraw) Malang, secara perlahan, ukuran bongkahan dinaikkan sambil tetap mengamati apakah terjadi penurunan debit semburan atau tidak. Jika tidak terjadi penurunan, berarti batuan yang dimasukkan hilang dan masuk ke bawah lumpur.
Tapi, jika terjadi penurunan, berarti bongkahan batuan tersangkut dalam lubang semburan. “Ketika tahap awal selesai, bisa dilakukan insersi tahap kedua dengan ukuran diameter 50 cm, tahap ketiga berdiameter 60 cm, dan seterusnya. Kemungkinan ukuran bongkahan batuan tersebut bisa mencapai satu meter
Secara keseluruhan beragam cara dan solusi telah dicetuskan dan ditawakan.bahkan sebahagian besar telah dilaksanakan, namun hasil yang diharapkan masih belum tercapai secara optimal entah sampai kapan lagi kasus ini akan terus berjalan. Satu per satu tanggul penahan lumpur mulai jebol, keadaan ini semakin diperparah dengan mulai munculnya semburan baru yang lokasinya mulai menyebar ke luar Porong, akan tetapi pihak Lapindo Brantas yang mulai beralih kepemilikan ke Bakrie Group dengan Abu Rizal Bakrie sebagai rajanya belum terlalu berbuat banyak untuk masalah ini. Uang Negara pun sudah tak terhitung jumlahnya untuk masalah ini. Bahkan masalah ini sempat dinyatakan sebagai musibah nasional. Entah sampai kapanbencana ini akan berakhir, Wallahu A’lam Bishshowab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar