Senin, 24 Januari 2011

PENGOPTIMALAN PERAN SASTRA SEBAGAI MEDIA PENGEMBANGAN KEBUDAYAAN DAN PERADABAN INDONESIA Oleh: YOZA FITRIADI A1F007010

TUGAS BAHASA INDONESIA
PENGOPTIMALAN PERAN SASTRA SEBAGAI MEDIA PENGEMBANGAN KEBUDAYAAN DAN PERADABAN INDONESIA





Oleh:
YOZA FITRIADI
A1F007010


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2008
PENGOPTIMALAN PERAN SASTRA
SEBAGAI MEDIA PENGEMBANGAN KEBUDAYAAN
DAN PERADABAN INDONESIA

Kenyataan saat ini bahwa telah begitu rendanhnya penerapan nilai-nilai luhur budaya Indonesia yang terlihat di masyarakat. Telah tampak kemunduran dan kemororsotan bangsa yang tercermin dari prilaku masyarakat kita yang cendrung meninggalkan perdaban bangsa yang sesungguhnya. Misal pada media elektronik, sebagian besar tontonan yang disuguhkan oleh stasiun televisi memberikan berbagai efek terhadap pemirsanya, baik dalam aspek budaya dan berbahasa. Film dan sinetron kadangkala berasal dari sebuah novel atau roman yang menghadirkan konsep “dulce et utile”, indah dan bermanfaat, namun kenyataannya seringkali karya-karya malah meberikan efek yang buruk bagi penontonnya, sehingga terjadi berbagai penyeragaman dalam berbagai hal, misalnya cara berpakaian (baby doll, celana model pensil khas Pasha Ungu, rambut model Tow Ming See, dll).
Dalam berbahasa pun mulai memperlihatkan keseragaman berbahasa yang hampir kejakarta-jakartaan bahasanya. Selain itu sinetron juga memberikan efek bagi psikologis dan psikis penontonnya. Padahal sastra sebagai sebuah karya memiliki tidak hanya aspek rasionalitas, juga memiliki aspek emosional dan aspek afektif dalam setiap pemakaian bahasanya baik secara lisan maupun lisan. Begitupun budaya sudah semestinya dalam salah satu unsurnya (sistem bahasa), mampu memberikan sumbangan dalam pengembangan bahasa itu sendiri.
Padahal seyogyanya sastra dapat menjadi media penting dalam perkembangan budaya dan perdaban asli Indonesia. Bahasa menunjukkkan bangsa, setidaknya itulah tamsil yang seringkali kita dengar. Dari tamsil itu bisa pahami bahwa bangsa yang baik, maju dan berperadaban terlihat dari bagaimana penduduknya berbahasa. Artinya dalam memahami sebuah bahasa tidak hanya aspek rasionalnya saja yang harus diketahui, namun lebih dari itu aspek emosi dan aspek afektif dari sebuah bahasa juga berpengaruh bagi penuturnya.
Maman Handayana (2008) menegaskan bahwa Indonesia pasca 1990 adalah era televisi multi kanal, sebuah era radio bergambar, sebuah era tradisi lisan kedua, tanpa sempat mengalami tradisi baca yang kuat. Era ini ditandai dengan merebaknya teknologi penyimpanan, peniruan serta pengelolaan bertutur. Hal ini menyebabkan spritualitas tradisi lisan pertama kehilangan kemampuan transformasi diri, baik secara formal lewat sistem pendidikan atau pun sistem kehidupan budaya. Spritualitas yang dimaksud antara lain kemampuan bertutur, kemampuan berbahasa, serta kepekaan yang humanis, sehingga mayoritas tradisi lisan yang dihidupkan oleh bahasa daerah kian mengalami penurunan peran.
Padahal semuanya itu termasuk dalam hasil budaya popular, namun tidak semua hasil budaya popular tersebut menghasilkan perubahan yang banyak terhadap pengembangan bahasa. Barangkali di sinilah perlu dipikir ulang, apakah karya-karya sastra yang lahir dari analisis sosial itu akan menjadi sebuah hal yang berharga untuk pengembangan bahasa?, atau justru sebaliknya akan menghancurkan bahasa. Untuk itu lah perlu adanya kajian mengenai hal ini, apakah benar sastra dapat menjadi media pendukung pengembangan peradaban dan kebudayaan bangsa serta apa saja yang dapat menghambat hal tersebut (Anonym, 2005: 21).

Peran sastra dalam mengembangkan kebudayaan dan peradaban Indonesia

Sastra sebagai sebuah karya yang menampilkan realitas yang ada dalam masyarakat menjadi penting artinya dalam pengembangan bahasa, beberapa arti penting sastra dalam pengembangan budaya antara lain,
a. Menambah wawasan kebudayaan
Karya sastra sebagai sebuah karya kreatif memiliki ketiga aspek penting bahasa, yaitu aspek rasional, karya sastra menampilkan kenyataan masyarakatnya. Apek emosional, karya sastra menampilkan emosi-emosi dalam alur-alur cerita yang ditampilkan oleh pengarangnya, dan aspek afektif, sastra menampilkan tingkah laku tokoh-tokoh yang dibuat oleh pengarangnya.
Secara pasif sastra memberikan pengajaran bahasa melalui membaca karya sastra, pembacaan karya sastra berupa novel dan cerpen akan menambah wawasan kebudayaan seseorang. Selain itu membaca karya sastra juga mampu menambah wawasan kebudayaan. Secara aktif sastra memberikan pengajaran bahasa melalui tindakan atau peragaan. Hal ini dapat kita lihat dalam penampilan drama dan puisi. Pembaca secara tidak langsung belajar bagaimana sesunggngguhnya budaya yang ada yang diserap dalam puisi mereka. Lebih jauh sastra juga mengungkap bagaimana peradaban bangsa Indonesia sesungguhnya yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan serta budaya yang menjadi tema bagi karya sastra mereka. Secara tidak langsung maupun langsung hal ini juga menjadi ajang pendidikan budaya bagi para pembaca dan penikmat karya mereka.
b. Mempertahankan dan menyebarluaskan kebudayaan asli Indonesia.
Telah menjadi rahasia umum bahwa kebudayaan asing telah begitu dengan mudahnya masuk ke Indonesia, dengan berbagai media dan berbagai aspek budaya asing yang didominasi oleh budaya barat telah sedikit banyaknya meracuni kebudayaan bangsa kita. Mulai dari segi berpakaian, makanan, sampai etika dan tata kerama yang jelas-jelas telah menympang jauh dari budaya asli leluhur bangsa.
Sayyid (2008) mengatakan bahwa Dengan sastra diharapkan dapat meminimalisir terlalu jauhnya budaya asing masuk pada diri anak=-anak Indonesia. Hal ini jelas dapat dilihat dari bagaimana suatu karya sastra memunculkan dan mengangkat budaya asli bangsa yang menjadi daya serap utama bagi para pembaca.
Misalnya pada novel-novel asli karya anak bangsa, seperti pada novel lascar pelangi karangan Andrea Hirata, Harimau-harimau karaya Marah Rusli ataupun novel Di Bawah Lindungan Ka’bah yang mengangkat budaya asli Minangkabau dengan aspek budaya yang kental.
C. Sebagai media perubahan dan kemajuan bangsa
Di era tahun 1945, karya sastra anak bangsa yang dimuat dalam koran mampu mengobarkan semangat juang revolusi nasional dan memopulerkan maestro sastra di Indonesia. Banyak karya-karya Chairil Anwar dimuat dalam majalah era 1945 seperti Pantja Raja, Zenith, Pembangoenan, Siasat, Internasional, Pemandangan, dan Berita. Bahkan banyak karya Pramoedya Ananta Toer: Kranji-Bokasi Jatuh, Keluarga Gerilya dikerjakan dalam penjara Belanda Bukit Duri akhirnya dipopulerkan juga oleh koran the Voice of Free Indonesia di Jakarta tahun 1947.(Bakker, 1999:21)
Hal itu telah membuktikan bahwa perjuangan bangsa ini tidak terlepas dari peran karya sastra sebagai corong perjuangan bangsa ini.Tidak dapat dibantah lagi bahwa surat kabar berperan dalam memasyarakatkan sastra secara umum. Di negeri Cina, tokoh sastra Lim Kim Hok dianggap sebagai orang yang berjasa menaikkan derajat bahasa Melayu Tionghoa menjadi bahasa sastra karena kesastraan Melayu Tionghoa di awal abad ke-20 semula dianggap hanya karya bahasa murahan akhirnya melalui media masa koran pada waktu itu menjadi karya bahasa terhormat.
Fungsi utama sebagai penyampai berita aktual, surat kabar juga berfungsi memberikan informasi tentang perkembangan budaya, teknologi, pendidikan, politik, dan termasuk di dalamnya perkembangan sastra sebagai hasil budaya.(Anonim, 2004 : !0)
Begitu penting kehadiran sastra dalam masyarakat, mengharuskan perlunya membangun komitmen dasar tentang kesastraan. Untuk menjalin komunikasi antara masyarakat, karya sastra, dan sastrawan banyak cara yang bisa ditempuh. Tanggung jawab untuk memasyarakatkan sastra sebenarnya tidak hanya tertumpu di pihak pemerintah, tetapi media cetak, dan masyarakat juga harus berperan untuk melestarikannya.
Donny Gahral dalm artikelnya Manusia Multi-Dimensi di Keseharian yang dimuat dalam Kompas Edisi Sabtu 14 April 2007 menyatakan bahwa melalui pemerintah, sekolah, masyarakat, dan sastrawan bersinergi membangun atmosfer sastra di negeri ini. Sehingga tujuan ideal yang mungkin dapat dicapai, ke depan karya sastra dapat disejajarkan dengan karya iptek, karya sastra berpotensi melahirkan pesan-pesan kultural dari kebekuan rutinitas sehari-hari. Lewat sastra, budaya dari setiap individu juga akan terbangun secara mantap. (Andika. 2005 :10)
Peran media cetak dalam memasyarakatkan sastra, dengan format sajian liputan cerpen, puisi, dan esai sastra ternyata berpengaruh terhadap pertumbuhan komunitas-komunitas sastra di masyarakat.(Anonim, 2008 :4) Karena peranannya terutama di masa perjuangan mampu mengobarkan semangat juang dan mengenalkan para tokoh sastrawan di republik ini, maka media cetak pantas mendapatkan penghargaan dari masyarakat. Karya sastra melalui media cetak semoga masih tetap diminati oleh sebagian banyak orang serta sastra tidak menjadi terkungkung dalam dunianya sendiri


Tantangan dan hambatan dalam upaya menjadikan sastra sebagai media pengembangan budaya dan peradaban Indonesia

Zaman dulu ketika teknologi tak secanggih sekarang, Indonesia justru memiliki karya yang amat berarti bagi sastra dunia. Lihat saja karya-karya Pujangga Lama, serat-serat, sajak-sajak Islam, I La Galigo, hingga puisi-puisi Jawa.(Aswad, 2007: 5)
Saat ini peran sastra Indonesia teramat minor, nyaris tak punya arti yang signifikan, bahkan di tingkat regional. Sastra Indonesia saat ini hanya mampu berbicara di negara-negara yang menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantarnya.
a. Kurangnya minat baca pada masyarakat
Karena budaya baca yang masih rendah, Human Development Index Indonesia berada pada peringkat ke-107 dari 177 negara. Membaca buku, budaya membaca, masih merupakan sesuatu yang harus kita picu dan pacu agar Indonesia bisa bersaing dengan negara-negara maju,yang mengesankan tidak saja menjelajah semesta, tetapi juga telah memberikan sumbangsih guna membangun karakter bangsa, sesuatu yang masih diperlukan bangsa ini. Hal ini makin diperkuat dengan masih cukup tingginya angka buta huruf di klangan masyrakat bawah. (Sujeno, 1992 :12)
• Manajemen penerbitan yang monoton
Di tengah-tengah kemajuan teknologi, dan perkembangan jalur informasi yang memungkinkan sastra disampaikan dalam medium yang amat beragam, sastra di Indonesia masih menekankan semata pada cara “lama.” Yaitu percetakan. “Kurangnya penguasaan terhadap jalur-jalur lain semisal e-book, membuat sastra Indonesia tak berkembang sebagaimana mestinya.
• Sedikitnya pengarang Indonesia yang menggunakan bahasa-bahasa internasional sebagai medium ekspresi mereka dalam mengankat budaya bangsa ke tingkat internasional
Kebanyakan sastra kita masih semata mengandalkan bahasa lokal. Penerjemahan karya sastra Indonesia ke dalam bahasa asing yang minim juga menjadi penyebab gaung sastra Indonesia yang kurang terdengar. Dibandingkan dengan masa 60-an dan 70-an, penerjemahan karya sastra Indonesia ke bahasa asing, saat ini amat berkurang.(Suryadi, 2008: 2)
“Dibandingkan dengan negara Asia saja, semisal Jepang, Indonesia termasuk amat ketinggalan. Jepang dengan amat aktif menghadirkan karya-karya sastra karya anak negeri mereka dengan menerjemahkannya ke dalam bahasa dunia”, tutur Putu Wijaya dalam sebuah artikelnya (2007 :4)
Di mata dunia, nama sastrawan Indonesia yang tak terlalu asing masih bisa dihitung dengan jari, Pramoedya Ananta Toer salah satunya. Lewat jasa seorang penerjemah berkebangsaan Australia bernama Max Lane, karya-karya Pramoedya Tetralogi Pulau Buru, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Perburuan, Cerita dari Jakarta dan masih banyak lagi, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Pramoedya mendunia karena membawakan nilai-nilai universal yang terkandung di dalamnya. Sayangnya di luar Pram, belum ada karya anak bangsa lain yang mendapatkan pengakuan luas secara internasional.(Dewantara, 1994: 156).
Hal ini amat bertolak belakang dengan Jepang yang sudah sejak lama aktif menerjemahkan karya-karya yang dianggap kanon. Selain itu masyarakat Jepang juga aktif menerjemahkan karya sastra asing ke dalam bahasa Jepang. Penerjemahan yang berkembang baik inilah yang membuat warga dunia cukup akrab dengan karya-karya sastra Jepang. Nama-nama semisal Akutagawa Ryonusuke, Abe Kobo, Natsume Soseki. Atau yang terkontemporer dari negeri matahari terbit ini, pengarang Haruki Murakami dengan karya-karya Norwegian Wood, Kafka On The Shore, Dance, Dance, Dance, dan masih banyak lagi.
Penerjemahan karya-karya memiliki peran yang amat penting memperkenalkan kebudayaan Indonesia di mata dunia. Memperkenalkan karya sastra kita ke kancah internasional akan membantu sinergi dalam bidang-bidang lainnya. Selain sebagai sebuah bentuk diplomasi budaya, juga membantu mengubah stereotipe. Sekaligus mengubah kesalahan cara pandang dunia luar terhadap Indonesia (Sarjono, 1999: 11).
Namun kondisi ini bukannya tanpa harapan, karya pengarang Ayu Utami dan Gus tf Sakai sebagai beberapa contoh yang akan cukup kuat untuk memberikan warna “Indonesia” kepada sastra dunia. Selama para sastrawan bisa mulai berpikir dengan cara yang lebih global. Berpikir global tapi berperilaku lokal istilahnya (Imran, 2008 : 4). Kondisi ini bukan berarti bahwa karya sastra Indonesia tak mampu bersaing di dunia internasional, selain karya dua penulis tadi, cukup banyak karya anak bangsa yang memiliki muatan yang amat layak untuk diketengahkan ke dunia internasional.
Maka, sudah menjadi tugas kita semua bagaimana berusaha menjadikan sastra sebagai media yang dapat digunakan sebagai pengontrol perkembangan budaya dan perdaban Indonesia, bukan hanya untuk sekarang tapi juga demi masa depan bangsa yang lebih cerah, dapat memfilter budaya asing yang masuk serta tetap mempertahankan aspek-aspek luhur yang terkandung di dalamnya, dan jelas ini bukan tugas baigi mendiknas atau sastrawan saja, namun seluruh elemen bangsa yang masih mempunyai kepedulian akan nasib bangsa ini ke depannya.




DAFTAR PUSTAKA
Adian, Donny Gahral. Manusia Multi-Dimensi di Keseharian. Dalam Kompas Edisi Sabtu 14 April 2007. Jakarta: Kompas Media Nusantara
Andika.2005. Sastra dan budaya.
http://www.cybersastra.net/peranan_sastra_dalam-budaya/htm
Anonim.2004. Budaya Indonesia Saat Ini
http://www.punya_kita.com/pornoaksi_dan_pornografi_dalam_perdaban-kita.htm
Anonim. 2006. Pemberdayaan Masyarakat Adat
http://www.sumpahpalapa.com/pemberdayaan_masyarakat-adat.html
Anonim.2007. Islam Indonesia dan Krisis Peradaban.
http://www.inilah-kita.com/isalam_indonesia_dan_krisis_peradaban.htm
Anonim. 2008. Budaya Modern dan Tradisional
http://us.click.com/budaya _modern-dan-spritualisasi.html
Bakker, JWM. 1999. Filsafat Kebudayaan, Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Kansius
Dewantara, Ki Hajar. 1994. Kebudayaan. Yogyakarta: Taman Siswa
Handayana, Maman. panorama sastra Indonesia. Dalam Riau Pos edisi 29 Desember 2008. Pekanbaru : Riau Pos
Imran, Ahda. 2008. Sastra Indonesia di mata Dunia
http://duniasastra.com/sastra_indonesia_di_mata_dunia.html
Sarjono. Agus R. 1999. Pembebasan Budaya-Budaya Kita. Jakarta: Gramedia
Sayyid. 2008. Hakikat dan Fungsi Sastra
http://www.dunia-sastra.com/pengertian,fungsi_dan_hakikat_sastra/html
Suhendra, Aswad. 2007. Tantangan Budaya barat
http://www.geocities.com/tantangan_budaya_barat/CIPTA.html
Sundiawan, Awan. 2007. Perkembangan Sastra Indonesia
http://www.worldpress.com/perkembangan_sastra_indonesia/html
Suryadi, Nanang. 2008. Beberpa permasalahan Kritik sastra Indonesia
http://www.duniasastra.com/permasalahan_kritik-sastra_indonesia.html
Suseno, Franz Magnis. 1992. Filsafat Kebudayaan Politik. Jakarta: GRAMEDIA
Wijaya, Putu. 2006. Dunia Sastra Indonesia.
http://putuwijaya-worldpress.com/media-dunia_sastra.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar