Senin, 24 Januari 2011

KURIKULUM DI INDONESIA oleh yoza Fitriadi

KURIKULUM DI INDONESIA

oleh yoza Fitriadi

Kurikulum pada hakekatnya adalah alat pendidikan yang disusun untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, kurikulum akan searah dengan tujuan pendidikan, dan tujuan pendidikan searah dengan perkembangan tuntutan dan kebutuhan masyarakat(Sanjaya, 2007). Jika berbicara mengenai arah pembangunan masyarakat, maka disini sudah melibatkan sisi politis pendidikan. Karena kurikulum adalah alat untuk mencapai tujuan politis tertentu, maka sangat wajar jika ada istilah ganti materi ganti kurikulum, ganti rezim ganti kurikulum, bahkan Bush Jr. mengucurkan dana milyaran dolar untuk membujuk pesantren-pesantren di Indonesia agar tidak berpresepsi buruk terhadap orang kafir dan mengkerdilkan jihad, lewat perubahan kurikulum pesantren atau yang disebut modernisasi kurikulum pesantren.






Kurikulum memang bukan satu-satunyapenentu mutu pendidkan. Ia juga bukan perangkat tunggal penjabaran visi pendidikan. Meskipun demikian, kurikulum menjadi perangkat yang strategis untuk menyemaikan kepentingan dan membentuk konsepsi dan perilaku individu warga. Dalam sejarah di Indonesia, pada rentang waktu tahun1945-1949 dikeluarkan kurikulum 1947. Tahun 1950-1961, ditetapkan kurikulum 1952. kurikulum terakhir pada masa orde lama adalah kurikulum 1964.
Masa orde baru lahir 4 kurikulum. Kurikulum 1968 ditetapkan dan berlaku sampai tahun 1975. selanjutnya muncul kurikulum 1975. Pada tahun 1984 dibuat kurikulum baru dengan nama kurikulum 1975 yang disempurnakan dengan pendekatan cara belajar siswa aktif (CBSA). Pada tahun 1994 dikeluarkan kurikulum baru, yakni kurikulum 1994. kurikulum itu menjadi kurikulum terakhir yang dikeluarkan pada rezim orde baru.
Pada era reformasi muncul kurikulum 2004 yang dikenal dengan nama kurikulum berbasis kompetensi(KBK), yang pada tahun 2006 dilengkapi dengan standar isi dan standar kompetensi (Sisko) yang memandu sekolah menyusun kurikulum tingkat satuan pendidikan(KTSP).
Menurut Bourdieu, setiap tindakan pedagogis yang bertujuan untuk memproduksi kebudayaan dapat disebut kekerasan simbolis yang sah. Kekuatan kekerasan ini berasal dari hubungan kekuasaan sesungguhnya yang disembunyikan oleh kekuatan pedagogis. Kurikulum yang berlaku dalam suatu Negara, termasuk Indonesia, sering digunakan sebagai sarana indoktrinasi dari suatu system kekuasaan.
Dunia pendidikan memang seringkali menganggap bahwa kurikulum adalah soal teknis belaka. Namun sebenarnya, berbicara tentang kurikulum adalah berbicara tentang sumber-sumber kekuasaan dalam dunia pendidikan. Kurikulum adalah program dan isi dari suatu system pendidikan yang berupaya melakukan proses akumulasi ilmu pengetahuan antar genarasi dalam suatu masyarakat.
Dalam sebuah masyarakat yang homogen, masalah kurikulum tidak terlalu merisaukan. Namun dilihat dari konteks masyarakat yang majemuk seperti Indonesia, kurikulum adalah pertarungan antar kekuasaan yang hidup dalam suatu masyarakat. Kelompok masyarakat yang dominan akan mempertahankan kurikulum untuk mempertahankan dominasinya melalui system persekolahan.
Sampai sejauh ini pendidikan di Indonesia menggunakan satu kurikulum, yaitu kurikulum nasional Yang dipakai sebagai acuan tunggal. Semua lembaga pendidikan formal di negeri ini, baik dikota besar, pelosok gunung, maupun dipinggiran pantai, punya kurikulum sama. Dengan demikian, proses pendidikan yang diterapkan adalah dalam upaya membentuk keseragaman berfikir. Melalui proses pendidikan nasional, generasi muda Indonesia dibentuk oleh system pendidikan yang mengacu pada politik Etatisme.
Melalui kurikulum nasional, pendidikan di Indonesia telah menjalani proses yang amat berlainan dengan perkembangan kebudayaan sehingga pendidikan di Indonesia bukan lagi menjadi persoalan kebudayaan, melainkan lebih sebagai kepentingan politik disatu sisi, dan kepentingan ekonomi di sisi lain. Dengan demikian, jika orang masuk kelorong pendidikan di Indonesia, ia tidak menemukan proses berfikir kritis, tetapi justru menjadi terasing dari lingkungan sosialnya.
Munculnay kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) tampaknyan menunjukkan bahwa politik kebijakan pemerintah dalam pengembangan dan operasionalisasi kurikulum mulai desentralistis, akomodatif, dan terbuka. Meskipun demikian, efektivitas perubahn politik kebijakan tersebut dalam menjawab problem fungsional kurikulum masih harus dapat dibuktikan. Melalui kebijakan KTSP, sekolah-sekolah diberi kebebasan menyusun kurikulum sendiri sesuai dengan konteks local, kemampuan sisiwa, dan ketersediaan sarana dan prasarana.
Menurut seorang pakar pendidikan dari Malanag, T Raka Joni, ketersampaian pesan pada kurikulum bukan bergantung pada materi pesan yang ingin disampaikan, melainkan lebih pada cara menyampaikan pesan (the process is the content, the medium is the message). Akan tetapi, ini justru tidak tepat bila disampaikan hanya dalam kerangka piker content transmission model. Sebaliknya, sasaran-sasaran pembentukan seperti kebiasaan bekerja secara sistematis, kepekaan social, dan tanggung jawab harus diwujudkan sebagai dampak pengirim (nurturant effects) dari keterlibatan siswa dalam berbagai kegiatan dan peristiwa pembelajaran yang dialami siswa.
Berdasarkan dampaknya kepada siswa, kurikulum dibedakan menjadi lima tataran yaitu kurikulum ideal, formal, instruksional, operasional, dan eksperiensial. Kurikulum eksperiensial adalah makna dari pengalaman belajar yang terhayati oleh siswa sementara mereka terlibat dalam berbagai kegiatan dan peristiwa pembelajaran yang dikelola oleh guru dan sekolah. Oleh karena itu, kurikulum eksperiensial yang membuahkan dampak, dalam bentuk perubahan cara berpikir dan bertindak pada siswa yang bersangkutan.
Oleh karena itu, dilihat dari sudut pandang keberdampakan kurikulum terhadap tingkah laku siswa, pada dasarnya yang eksis hanyalah kurikulum local yang bisa dimanifestasikan dalam KTSP yang berupa pengalaman belajar yang digelar oleh guru dari hari ke hari. Ini berarti, kurikulum formal “tidak banyak bicara” tanpa penerjemahan yang setia dilapangan.
KTSP sangat berpeluang untuk mewujudkan kurikulum sekolah yang beridentitas kerakyatan, artinya kurikulum yang benar-benar berpihak kepada khalayak-dalam hal ini anak didik-dalam konteks sosial budaya dan kehidupan sehari-hari. Identitas dapat dicapai dengan penyusunan pengalaman belajar yang dikontekstualisasi dengan kebutuhan setempat.
Di sini kreatifitas dan keberpihakan guru menjadi sangat penting. Sekolah bisa menjadi arena (field) anak-anak untuk membentuk habitus (kebiasaan) baru tanpa didominasi kepentingan sentralistis yng sebenarnya secara diam-diam masih ditenggarai termuat dalam standar isi, standar kompetensi, dan kompetensi dasar yang disusun secara terpusat. Dengan demikian, kebebasan mengembangkan pengalaman belajar itu sungguh terjadi. Tujuan pendidikan yang sesuai kerangka Visi Indonesia 2030-menciptakan masyarakat maju, sejahatera, mandiri, dan berdaya saing tinggi-dapat diarahkan



PENDIDIKAN SEBELUM MASA KOLONIALISME
Pada saat zaman hindu budha, pendidikan hanya dinikmati oleh kelas Brahmana, yang merupakan kelas teratas dalam kasta Hindu. Sejarah mencatat, kerajaan-kerajaan Hindu seperti Kalingga, Kediri, Singosari, dan Majapahit, melahirkan para empu,pujangga, karya sastra, dan seni yang hebat.padepokan adalah model pendidikan zaman hindu yang dikelola oleh seorang guru/bengawan dan murid/cantik mempelajari ilmu bersifat umum, religius, dan juga kesaktian. Murid dipadepokan bisa keluar masuk bila merasa cukup atau tidak puas dengan pengajaran guru. Pada zaman penyebaran islam, pola pendidikan bernapaskan islam menyebar dan mewarnai penyelenggaraan pendidikan.

PENDIDIKAN MASA KOLONIALISME
Pada masa penjajahan belanda, setidaknya ada tiga system pendidikan dan pengajaran yang berkembang saat itu, pertama, sisem pendidikan islam yang diselenggarakan pesantren. Kedua, system pendidikan belanda yang diatur dengan prosedur yang ketat dari mulai aturan siswa, pengajar, system pengajaran, dan kurikulum.ketiga, sekolah yang dikembangkan tokoh pendidikan nasional seperti KH Ahmad Dahlan dan Ki Hajar Dewantara.
Pada masa jepang, pendidikan diarahkan untuk menyediakan pajurit yang siap berperang di perang Asia Timur Raya. Penggolongan sekolah berdasarkan status social yang dibangun belanda dihapuskan. Pendidikan hanya digolongkan pada pendidikan dasar 6 tahun, pendidikan menengah pertama, dan pendidikan menengah tinggi yang masing-masing 3 tahun, serta pendidikan tinggi.
Pada masa peralihan dari Jepang ke sekutu, ketika proklamasi dikumandangkan, dibentuklah Panitia Penyidik Pengajaran RI yang dipimpin oleh Ki Hajar Dewantara. Lembaga ini melahirkan rumusan pertama system pendidikan Nasional, yakni pendidikan bertujuan menekankan pada semangat dan jiwa patriotisme. Kemudian disusun pula pembaruan kurikulum pendidikan dan pengajaran. Kurikulum sekolah dasar lebih mengutamakan pendekatan filosofis-ideologis. Proses penyusunan singkat dan tentu saja tanpa disertai data empiris. Penetapan isi kurikulum di masa permulaan kemerdekaan itu berdasarkan asumsi belaka.

PENDIDIKAN SETELAH INDONESIA MERDEKA DARI BELANDA CD (SEKUTU)
Setelah Indonesia merdeka dalam pendidikan dikenal beberapa masa pemberlakuan kurikulum yaitu kurikulum sederhana (1947-1964), pembaharuan kurikulum (1968 dan 1975), kurikulum berbasis keterampilan proses (1984-1994), dan kurikulum berbasis kompetensi (2004 dan 2006), serta KTSP.
KURIKULUM SEDERHANA (1947-1964)
Rencana Pelajaran 1947
Kurikulum pertama pada masa kemerdekaan namanya Rencana Pelajaran 1947. Ketika itu penyebutannya lebih popular menggunakan leer plan (rencana pelajaran) ketimbang istilah curriculum dalam bahasa Inggris. Rencana pelajaran 1947 bersifat politis, yang tidak mau lagi melihat dunia pendidikan masih menerapkan kurikulum Belanda, yang orientasi pendidikan dan pengajarannya ditujukan untuk kepentingan kolonialis Belanda. Asas pendidikan ditetapkan Pancasila. Situasi perpolitikan dengan gejolak perang revolusi, maka rencana pelajaran 1947, baru diterapkan pada tahun 1950. Oleh karena itu revolusi Rencana Pelajaran 1947 sering pula disebut kurikulum 1950.
Susunan Rencana Pelajaran 1947 sangat sederhan, bentuknya hanya memuat dua hal pokok, yaitu daftar mata pelajaran dan jam pengajarannya, serta garis-garis besar pengajarannya. Rencan Pelajaran 1947 lebih mengutamakan pendidikan watak, kesadaran bernegara, dan bermasyarakat, daripada pendidikan pikiran. Materi pelajaran dihubungkan dengan kejadian sehari-hari, perhatian terhadap kesenian, dan pendidikan jasmani.
Pada perkembangannya, rencana palajaran lebih rinci lagi setiap pelajarannya, yang dikenal dengan istilah Rencana Pelajaran Terurai 1952. “Silabus mata pelajarannya jelas sekali. Seorang guru mengajar satu mata pelajaran”. Pada masa itu juga dibentuk Kelas Masyarakat, yaitu sekolah khusus bagi lulusan SR 6 tahun yang tidak melanjutkan ke SMP. Kelas masyarakat mengajarkan keterampilan, seperti pertanian, pertukangan, dan perikanan. Tujuannya agar anak yang tidak mampu melanjutkan sekolah kejenjang SMP, bisa langsung bekerja.
Kurikulum 1964
Pada akhir era kekuasaan Soekarno, kurikulum pendidikan yang lalu di ubah menjadi Rencana Pendidikan 1964. isu yang berkembang pada rencana pendidikan 1964 adalah konsep pembelajaran yang bersifat aktif, kreatif, dan produktif. Konsep pembelajaran ini mewajibkan sekolah membimbing anak agar mampu memikirkan sendiri pemecahan persoalan (problem solving). Rencana pendidikan 1964 melahirkan kurikulum 1964 yang menitik beratkan pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral, yang kemudian dikenal dengan istilah Pancawardhana. Disebut Pancawardhana karena lima pokok bidang studi, yaitu kelompok perkembangan moral, kecerdasan, emosional/artistic, keprigelan (keterampilan), dan jasmaniah.
Pada saat itu pendidikan dasar lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis, yang disesuaikan dengan perkembangan anak. Cara belajar dijalankan dengan metode disebut gotong royong terpimpin. Selain itu pemerintah menerapkan hari sabtu sebagai hari krida. Maksudnya, pada hari sabtu, siswa diberi kebebasan berlatih kegiatan di bidang ebudayaan, kesenian, olahraga, dan permainan sesuai dengan minat siswa. Kurikulum 1964 adalah alat untuk membentuk manusia pancasialis yang sosialis Indonesia, dengan sifat-sifat seperti pada ketetapan MPRS No II tahun 1960. Kurikulum 1964 bersifat separate subject curriculum, yang memisahkan mata pelajaran berdasarkan lima kelompok bidang studi (Pancawardhana).
PEMBAHARUAN KURIKULUM 1968 DAN 1975
Kurikulum 1968
Kurikulum 1968 lahir dengan pertimbangan politik ideologis. Tujuan pendidikan pada kurikulum 1964 yang bertujuan menciptakan masyarakat sosialis Indonesia diberangus, pendidikan pada masa ini lebih ditekankan untuk membentuk manusia pancasila sejati.
Kurikulum 1968 bersifat correlated subject curriculum, artinya materi pelajaran pada tingkat bawah mempumyai korelasi dengan kurikulum sekolah lanjutan. Bidang studi pada kurikulum ini dikelompokkan pada tiga kelompok besar: pembinaan pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Jumlah mata pelajarannya 9, yang memuat hanya mata pelajaran pokok saja. Mutan materi pelajarannya sendiri hanya teoritis, tidak lagi mengkaitkannya dengan permasalahan factual dilingkungan sekitar. Metode pembelajaran sangat dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pendidikan dan psikologi pada akhir tahun 1960-an. Salah satunya adalah teori psikologi unsur.
Kurikulum 1968 merupakan pembaharuan dari kurikulum 1964, yaitu dilakukannya perubahan struktur kurikulum pendidikan dari pancawardhana menjadi pembinaan jiwa pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Kurikulum 1968 merupakan perwujudan dari perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Dari segi tujuan pendidikan, kurikulum 1968 bertujuan bahwa pendidikan ditekankan pada upaya untuk membentuk manusia pancasila sejati, kuat, dan sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama. Isi pendidikan di arahkan pada kegiatan mempertinggi kecerdasan dan keterampilan, serta mengembangkan fisik yang sehat dan kuat.
Kurikulum 1975
Pendekatan kurikulum 1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efektif dan efesien, yang mempengaruhinya adalah konsep dibidang manajemen, yaitu MBO (Manajemen by Objective). Melalui kurikulum 1968 tujuan pembelajaran setiap mata pelajaran yang terkandung pada kurikulum 1968 lebih dipertegas lagi.
Kurikulum 1975 sebagai pengganti kurikulum 1968 menggunakan pendekatan-pendekatan diantaranya sebagai berikut:
a. berorientasi pada tujuan
b. menganut pendekatan integrative dalam arti bahwa setiap pelajaran memiliki arti dan peranan yang menunjang kepada tercapainya tujuan-tujuan yang lebih integrative
c. Menekankan kepada efisiensi dan efektivitas dalamhal daya dan waktu
d. Menganut pendekatan system instruksional yang dikenal sebagai Prosedur
e. Pengembangan system Instruksional (PPSI). System yang senantiasa mengarah kepada tercapainya tujuan yang spesifik, dapat diukur dan dirumuskan dalam bentuk tingkah laku siswa
f. Dipengaruhi psikologi tingkah laku dengan menekankan kepada stimulus respon (rangsang-jawab) dan latihan (drill)
Kurikulum 1975 didasari konsep SAS (Structural, Analysis, Sintesis). Anak menjadi pintar karena paham dan mampu menganalisis sesuatu yang dihubungkan dengan mata pelajaran di sekolah. Selain memperkuat matematika, pelajaran teoritis IPA juga dipertajam. Sisi positif kurikulum ini adalah, “ilmu-ilmu dasar yang diserap siswa SD pada masa itu menjadi semakin berkembang:. Akan tetapi dampak dari kurikulum 1975 adalah banyak guru menghabiskan waktunya untuk mengerjakan tugas administrasi.
Kurikulum 1975 hingga menjelang tahun 1983 dianggap sudah tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan masyarakat dan tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahkan siding umum MPR 1983 yang produknya tertuang dlam GBHN 1983 menyiratakan keputusan politik yang menghendaki perubahan kurikulum dari kurikulum 1975 ke kurikulum 1983. Karena itulah pada tahun 1984 pemerintah menetapkan pergantian kurikulum 1975 oleh kurikulum 1984.
Kurikulum 1984
Secara umum dasar perubahan kurikulum 1975 ke kurikulum 1984 diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Terdapat beberapa unsure dalam GBHN 1983 yang belum tertampung ke dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah
b. Terdapat ketidak serasian antara materi kurikulum berbagai bidang studi dengan kemampuan anak didik
c. Terdapat kesenjangan antara program kurikulum dan pelaksanaanya disekolah
d. Terlalu padatnya isi kurikulum yang harus diajarkan hampir disetiap jenjang
e. Pelaksaan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) sebagai bidang pendidikan yang berdiri sendiri dari tingkat kanak-kanak sampai sekolah menengah tingkat atas termasuk Pendidikan Luar Sekolah
f. Pengadaan program studi baru (seperti di SMA) untuk memenuhi kebutuhan perkembangan lapangan kerja
Kurikulum 1984 tmpil sebagai perbaikan atau revisi terhadap kurikulum 1975. Kurikulum 1984 memiliki cirri-ciri sebagai berikut:
a. Berorientasi kepada tujuan instruksional. Didasari oleh pandangan bahwa pemberian pengalaman belajar kepada siswa dalam waktu belajar yang sangat terbatas disekolah harus benar-benar fungsional dan efektif
b. Pendekatan pengajarannya berpusat pada anak didik melalui cara belajar siswa aktif (CBSA)
c. Materi pelajaran dikemas dengan menggunakan pendekatan spiral
d. Menanamkan pengertian terlebih dahulu sebelum diberikan latihan. Konsep-konsep yang dipelajri siswa didasarkan kepada pengertian, baru kemudian diberikan latihan setelah siswa mengerti
e. Materi disajikan berdasarkan tingkat kesiapan atau kematangan siswa
f. Menggunakan pendekatan keterampilan proses. Keterampilan proses adalah pendekatan belajar yang memberi tekanan kepada proses pembentukan keterampilan memperoleh pengetahuan dan mengkomunikasikan perolehannya
Kurikulum 1994
Pada kurikulum sebelumnya, yaitu kurikulum 1984, proses pembelajaran menekankan pada pola pengajaran yang berorientasi pada teori belajar mengajar dengan kurang memperhatikan muatan (isi) pelajaran. Hal ini terjadi karena berkesesuaian suasana pendidikan di LTPK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) pun lebih mengutamakan teori tentang proses belajar mengajar. Akibatnya, pada saat itu dibentuklah Tim Basic Science yang salah satu tugasnya ikut menembangkan kurikulum di sekolah.
Kurikulum 1994 dibuat sebagai penyempurnaan kurikulum 1984 dan dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang no. 2 tahun 1989 tentang system pendidikan nasional. Hal ini berdampak pada system pembagian waktu pelajaran, yaitu dengan mengubah dari system semester ke system caturwulan. Dengan system caturwulan yang pembagiannya dalam satu tahun menjadi tiga tahap diharapkan dapat memberi kesempatan bagi siswa untuk menerima materi pelajaran cukup banyak.
Terdapat cyang menonjol dari pemberlakuan kurikulum 1994, diantaranya sebagai berikut:
a. Pembagian tahapan pelajaran di sekolah dengan system caturwulan
b. Pembelajaran di sekolah lebih menekankan materi pelajaran yang cukup padat (berorientasi kepada materi pelajaran/isi)
c. Kurikulum 1994 bersifat populis, yaitu yang memberlakukan satu system kurikulum untuk semua siswa di Indonesia
d. Dalam pelaksanaan kegiatan, guru hendaknya memilih dan menggunakan strategi yang melibatkan siswa aktif dalam belajar, baik secara mental, fisik, dan social
e. Dalam pengajaran suatu mata pelajaran hendaknya disesuaikan dengan kekhasan konsep/pokok bahasan dan perkembangan berfikir siswa
f. Pengajaran dari hal yang konkrit ke hal yang abstrak, dari hal yang mudah ke hal yang sulit, dan dari hal yang sederhana ke hal yang kompleks
g. pengulangan-pengulangan materi yang di anggap sulit perlu di lakukan untuk pemantapan pemahaman siswa
Selama dilaksanakannya kurikulum 1994 muncul beberapa permasalahan, terutama sebagai akibat dari kecenderungan kepada pendekatan penguasaan materi (content oriented), diantaranya sebagai berikut:
a. Beban belajar siswa terlalu berat karena banyaknya mata pelajaran dan banyaknya materi/subtansi setiap mata pelajaran
b. Materi pelajaran dianggap terlalu sukar karena kurang relevan dengan tingkat perkembangan berfikir siswa, dan kurang bermakna karena kurang terkait dengan aplikasi kehidupan sehari-hari
Permasalahan diatas terasa saat berlangsungnya pelaksanaan kurikulum 1994. Hal ini mendorong para pembuat kebijakan untuk menyempurnakan kurikulum tersebut. Salah satu upaya penyempurnaan itu diberlakukannya suplemen 1994. penyempurnaan tersebut dilakukan dengan tetap mempertimbangkan prinsip penyempurnaan kurikulum, yaitu:
a. Penyempurnaan kurikulum secara terus menerus sebagai upaya menyesuaikan kurikulum dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta tuntutan kebutuhan masyarakat
b. Penyempurnaan kurikulum dilakukan untuk mendapatkan proporsi yang tepat atara tujuan yang ingin dicapai dengan beban belajar, potensi siswa, dan keadaan lingkungan serta sarana pendukungnya
c. Penyempurnaan kurikulum dilakukan untuk memperoleh kebenaran subtansi materi pelajaran dan kesesuaian dengan tingkat perkembangan siswa
d. Penyempurnaan kurikulum mempertimnangkan berbagai aspek terkait, seperti tujuan materi, pembelajaran, evaluasi, dan sarana/prasarana termasuk buku pelajaran
e. Penyempurnaan kurikulum tidak mempersulit guru dalam mengimplementasikannya dan tetap dapat menggunakan buku pelajaran dan sarana prasarana pendidikan lainnya yang tersedia di sekolah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar